Raja-raja Minang di Nusantara

Written by Afandri Adya
Banyak pihak menilai, abad ke-20 merupakan masa kejayaan peradaban
Minangkabau. Hal ini ditandai dengan besarnya peran mereka dalam lima
lini pokok kehidupan bermasyarakat di Indonesia (dan Nusantara pada
umumnya). Dari lima bidang tersebut, yakni : politik, ekonomi, budaya,
ilmu pengetahuan, serta sosial keagamaan, Minangkabau telah melahirkan
ratusan bahkan ribuan ahli yang sangat kompeten di bidangnya. Para ahli
itu, yang telah go internasional dan bahkan melegenda antara lain : Tan
Malaka, Hatta, Sjahrir, Tuanku Abdul Rahman, Yusof Ishak (politik);
Hasyim Ning, Abdul Latief, Tunku Tan Sri Abdullah (ekonomi/bisnis);
Chairil Anwar, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Usmar Ismail,
Soekarno M. Noer (budaya); Emil Salim, Sheikh Muszaphar Shukor, Taufik
Abdullah, Azyumardi Azra (ilmu pengetahuan); serta Agus Salim, Hamka,
Natsir, Tahir Jalaluddin, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syafii Maarif
(sosial-keagamaan).
Namun dari itu, sedikit sekali orang yang mengetahui kejayaan
Minangkabau di masa lampau. Menurut hasil penelitian Mochtar Naim yang
dituangkan dalam disertasinya “Merantau”, sejak dahulu kala orang-orang
minang telah banyak berkontribusi dalam pembentukan peradaban Nusantara.
Dan diantara mereka banyak pula yang menjadi raja ataupun pendiri
sebuah kerajaan. Dalam tulisan kali ini, kita akan melihat sepak terjang
raja-raja asal Minangkabau, yang memerintah di banyak negeri seantero
Nusantara.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dipercaya sebagai pendiri imperium besar
Sriwijaya. Menurut Tambo alam Minangkabau, Dapunta Hyang berasal dari
lereng Gunung Merapi, yang kemudian melakukan migrasi bersama sejumlah
penduduk setempat. Dengan mengaliri Sungai Kampar dari pedalaman
Minangkabau, Dapunta Hyang beserta rombongannya tiba di bibir pantai
Selat Malaka. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke selatan hingga
bertemu muara Sungai Musi. Dari sini mereka mencoba memudiki Sungai Musi
dan berjumpa lereng Gunung Dempo. Dari lereng gunung inilah kemudian
Dapunta Hyang beserta rombongannya membangun sebuah kedatuan yang
berpusat di tepian Sungai Musi.
Kisah perjalanan Dapunta Hyang dari tanah Minang, terukir jelas dalam
Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu bercerita tentang rombongan Dapunta
Hyang yang selamat melakukan perjalanan dan penyerangan dari Minanga,
bersama serombongan pasukan yang melewati darat maupun laut. Hingga saat
ini, penafsiran isi prasasti tersebut masihlah simpang siur.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa Minanga (atau Minanga Tamwar) merupakan
hulu pertemuan dua sungai Kampar, yang berada di luhak Lima Puluh Koto.
Dan Minanga Tamwar diprediksi sebagai asal usul nama Minangkabau.
Sedangkan para ahli lainnya seperti George Coedes dan Slamet Muljana,
justru berteori bahwa Minanga merupakan kerajaan taklukan Dapunta Hyang
yang terletak di hulu Batanghari. E.S Ito dalam novelnya “Negara
Kelima”, juga menyinggung mengenai migrasi Dapunta Hyang dari
Minangkabau ke Palembang. Dikatakannya bahwa Dapunta Hyang telah
menghiliri Sungai Batanghari sampai ke muara Jambi, dan kemudian
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga ke tepian Sungai
Musi. Menurutnya Dapunta Hyang adalah salah seorang pembesar
Minangkabau, yang ingin mengembalikan kejayaan imperium Atlantis.
Putra Minangkabau lainnya yang duduk di tampuk kekuasaan adalah
Kalagamet. Dia merupakan raja Majapahit kedua yang memerintah pada tahun
1309-1328. Kalagamet yang bergelar Sri Jayanagara, beribukan Dara Petak
seorang permaisuri yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Pada masa
berkuasa, dia mengangkat saudara sepupunya yang juga keturunan
Minangkabau, Adityawarman, sebagai duta untuk negeri Tiongkok.
Adityawarman adalah putra Dara Jingga, permaisuri Dharmasraya lainnya
yang bersuamikan Adwayawarman. Di masa pemerintahan Tribhuwana
Tunggadewi, Adityawarman naik jabatan sebagai wreddhamantri atau perdana
menteri kerajaan. Dalam posisi strategis itu, dia membangkang kepada
Tribhuwana dan melecehkan Majapahit. Pada tahun 1347, dia pulang kampung
ke Sumatra dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini merupakan
penerus wangsa Mauli yang telah berkuasa di Sumatra selama hampir satu
setengah abad. Pada abad ke-14, Kerajaan Pagaruyung memiliki daerah
taklukan ke hampir seluruh wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaysia.
Kekuasaannya atas Nusantara barat, merupakan balance of power bagi
Majapahit yang berkuasa di bagian tengah kepulauan.
Selain Jayanagara dan Adityawarman, tokoh Majapahit lainnya yang
dipercaya berasal dari Minangkabau adalah Gajah Mada. Namanya mengikuti
genre jago silat Minang lainnya seperti Harimau Campa, Gajah Tongga,
atau Anjing Mualim. Sebagian orang memperkirakan, Gajah Mada merupakan
putra seorang pendekar Minangkabau yang ikut mengantarkan Dara Petak dan
Dara Jingga ke Majapahit. Namun Ridjaluddin Shar dalam novelnya
“Maharaja Diraja Adityawarman: Matahari di Khatulistiwa”, malah
berpendapat sebaliknya. Menurutnya Gajah Mada adalah anak dari salah
seorang pasukan Pamalayu yang menikahi gadis Minangkabau. Asal usul
Gajah Mada memang penuh misteri dan tanda tanya. Hingga saat ini belum
ada sejarawan yang berhasil mengungkap kelahiran dan kematian tokoh
besar tersebut, kecuali hanya dugaan-dugaan awal saja. Yang jelas, Gajah
Mada merupakan simbol kebesaran Majapahit dan persatuan Indonesia.
Ketika ia ditunjuk sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, dalam Sumpah Palapa ia bernazar akan menaklukkan seluruh
Nusantara di bawah panji Majapahit. Namun janjinya tersebut tak sempat
terwujud, sampai akhirnya kerajaan itu runtuh pada awal abad ke-16.
Muhammad Yamin, seorang pakar hukum, ahli sejarah, budayawan, dan salah
satu founding fathers Indonesia, merupakan pengagum berat sosok Gajah
Mada. Kekagumannya mungkin juga dikarenakan pertalian darah yang sama
sebagai putra Minangkabau. Usahanya dalam merekonstruksi peran Gajah
Mada dalam buku setebal 112 halaman, merupakan salah satu bentuk
kegandrungannya. Jasa Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara, telah
mengilhaminya untuk menggabungkan seluruh jajahan Hindia-Belanda dalam
satu kesatuan wilayah politik. Pada bulan Oktober 1928, cita-citanya itu
benar-benar terwujud. Dalam sebuah ikrar bersama yang kelak dikenal
dengan Sumpah Pemuda, Yamin berhasil menyatukan seluruh komponen rakyat
Hindia-Belanda, dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Pada tahun 1390, seorang pengelana Minangkabau yang kemudian berjuluk
Raja Bagindo, mendirikan Kesultanan Sulu. Tak banyak riwayat mengenai
raja yang satu ini, kecuali para keturunannya yang menjadi pelaut ulung.
Kabarnya mereka sangat ditakuti oleh pedagang-pedagang Eropa yang acap
melintasi perairan utara Nusantara. Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya
“Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD”
menyebutkan, bahwa dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam, diketahui
bahwa pendiri kerajaan ini : Awang Alak Betatar atau yang bergelar
Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau. Selain itu raja-raja
Serawak di Kalimantan Utara, juga banyak yang berasal dari Minangkabau.
Hal ini berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, yang ditemui Hamka
pada tahun 1960. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dalam bukunya “Mesin
Ketik Tua” juga memerikan berita bahwa ketika James Brook dirajakan di
Serawak, yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau.
Sultan Buyong, anak dari raja Indrapura yang bertahta di Pesisir
Selatan, pernah berkuasa di Kesultanan Aceh pada tahun 1586-1596. Buyong
(Buyung ?) naik menjadi raja, berkat pengaruh dan kekuatan para
pedagang Minang yang berniaga di Kutaraja. Sebelum itu kakak ipar
Buyong, Sultan Sri Alam, juga sempat bertahta di Kesultanan Aceh
(1575-1576). Sri Alam berkuasa melalui kudeta berdarah hulubalang
Minangkabau, yang disebut-sebut telah berkomplot dalam pembunuhan Sultan
Muda. Untuk menyingkirkan pengaruh Minangkabau dari Kerajaan Aceh,
sekaligus membalaskan dendam kematian Sultan Muda, pada tahun 1596
ulama-ulama Aceh melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyong. Dengan
terbunuhnya Buyong maka berakhirlah pengaruh Indrapura di tanah rencong.
Kesultanan Indrapura yang beribu kota di Indrapura (selatan Painan),
merupakan pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Pada paruh kedua abad ke-16,
kesultanan ini memiliki pengaruh yang cukup luas di pesisir barat
Sumatra. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu di
selatan.
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil
adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri
Indrapura. Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja
Kecil sempat bertahta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun
kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan
Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis. Di masa pemerintahannya,
Kesultanan Siak melakukan perluasan teritori hingga ke wilayah Rokan,
dan berhasil membangun pertahanan armada laut di Bintan. Pada tahun
1740-1745, Siak menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaysia.
Dan 40 tahun kemudian, wilayah kekuasaannya telah meliputi Sumatra
Timur, Kedah, hingga Sambas di pantai barat Kalimantan.
Di Semenanjung Malaysia, Raja Melewar yang merupakan utusan Pagaruyung,
menjadi raja bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1773, konfederasi
sembilan nagari di Semenanjung Melayu, membentuk sebuah kerajaan yang
diberi nama Negeri Sembilan. Kerajaan ini terbentuk pasca derasnya arus
migrasi Minangkabau ke wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di
Sumatra Barat, rakyat Negeri Sembilan juga menggunakan hukum waris
matrilineal serta model adat Datuk Perpatih. Pada tahun 1957, Tuanku
Abdul Rahman yang merupakan keturunan Raja Melewar, menjadi Yang
Dipertuan Agung Malaysia pertama.
Di Tapanuli, Sisingamangaraja yang dipercaya sebagai Raja Batak, juga
berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan keterangan Thomas Stamford
Raffles yang menemui para pemimpin Batak di pedalaman Tapanuli. Mereka
menjelaskan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan Minangkabau
yang ditempatkan oleh Kerajaan Pagaruyung sebagai raja bawahan (vassal)
mereka. Hingga awal abad ke-20, keturunan Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui
perantaraan Tuanku Barus.
Sumber : Cimbuak